Destiny Part 11


Author : Ramalia

Cast     : Jung Nari (OC)

              Max Changmin

              Lee Hyukjae

Genre  : Romance, Family, Angst

Rate     : PG-17

****************

“Semua sudah kami urus. Begitu sidang cerai kalian berakhir, kau dan Minho terbang ke Amerika. Setelah urusan disini selesai, baru kami menyusul kalian.”

Max menghelas nafas panjang. Tangan kanannya sejak tadi asik mengelus-ngelus punggung sang anak yang sedang berwisata ke alam mimpi. Matanya memandang kosong ke depan, teringat tentang perkataan orangtuanya tadi.

“Hah..” untuk kesekian kalinya Max mendesah berat. Amerika, Amerika, Amerika. Nama Negara adidaya itu terus terngiang. Negara itu sudah jadi rekomendasi dari dokternya dan tanpa pemikiran sedikitpun orang tuanya mengangguk setuju. Dan dia hanya bisa terima keputusan itu.

Jelas itu sangat mengganggu pikiran Max. Saat ia membuka mata, tepatnya sadar dari pingsannya, yang menyambut adalah suara tangisan Minho yang katanya tidak pernah berhenti dan mengotot ingin disampingnya. Menurut Jaejoong, bocah itu sangat ketakutan dan terus berkata ‘maaf’ berkali-kali. Mengetahui itu, keraguan yang sempat hilang datang lagi. Keteguhannya untuk mendapat hak asuh Minho mendadak mengabur.

Membayangkan Minho yang menangis dengan rasa bersalah, seperti memaksa anak itu memilih antara mama dan papanya. Padahal anak itu belum mengerti apa-apa. Jika sebelumnya ia berpikir keegoisannya kali ini bisa di halalkan, tidak lagi sekarang. Jelas Minho menderita, jelas Nari menderita. Dan jelas sekali dia pun merasakan hal yang sama bahkan dengan pilihan manapun yang diambil. Baginya, ia tetap mendapat porsi rasa sakit yang sama, tidak berkurang.

Lalu jika pengadilan mengabulkan permohonan cerainya serta hak asuh anak, dan ia harus terbang ke negara lain, bukankah semakin memperlebar jarak dengan Nari? Ah, tapi bukankah itu yang diinginkan? Menjalani kehidupan berdua dengan Minho saja?

“Apa papa harus melepasmu juga?” tanyanya sangat pelan bahkan nyaris tidak terdengar. Tangannya belum mau dan tidak mau berhenti mengelus punggung kecil anaknya. Max menutup mata mencari jawaban dan kalau bisa itu adalah jawaban pasti,  bukan keraguan baru yang sewaktu-waktu ia ubah.

Seketika wajah Nari yang menangis-nagis mengharapkan kesempatan darinya menguak, bayangan tentang Nari yang melakukan banyak hal untuk bertemu dengan Minho, bayangan saat Nari tertawa, saat ia beserta Nari dan Minho bermain sepak bola di halaman belakang, saat ia pertama kali bertemu Nari, saat ia berusaha cukup keras untuk menarik perhatian wanita itu, saat ia dan Nari pertama kali melihat Minho, saat anak itu langsung merengek minta dipeluk oleh Nari, semua berputar secara acak mengembangkan senyum Max yang sempat ragu-ragu menguar.

“Aku tidak bisa menyakitimu. Aku tidak boleh egois,” ucapnya masih dengan mata terpejam. Namun, tak sampai dua detik senyumnya berubah masam. Bayangan tentang Nari yang menolaknya mengganti momen-momen indah tadi. Terlintas saat Nari mendorong  tubuhnya keras ke lantai, saat Nari bertemu dengan Eunhyuk di restoran, saat sesekali Nari mencuri pandang pada Eunhyuk, saat Nari menyambut kepulangannya dengan berkata “Kau kemari, Hyuk ?”, saat Nari membohonginya dengan berbagai alasan hanya untuk bertemu Eunhyuk, saat Nari berjanji untuk berubah, saat Nari tidak ada saat Minho sakit, dan saat Nari ditemukannya dengan keadaan begitu indah, berada di atas pembaringan hanya berbalut selimut. Semua berputar cepat dan semakin cepat.

Sisi kanannya terus berbisik dan mengingatkan tentang Nari yang sangat dicintainya, yang tidak akan pernah disakitinya, dan memberinya kesempatan. Namun, sisi kirinya tak mau kalah berbisik bahkan berteriak mengingatkannya jika Nari tidak cukup pantas untuk diberi kesempatan, mengingat semua kesalahannya. Kedua sisi itu bertarung keras, saling menyahut dan berusaha menarik perhatian Max, beradu mencari siapa pemenangnya hingga Max jengah dan membuka mata dengan keringat mengucur deras.

“Tidak, aku tidak akan merubah keputusanku. Minho tetap disini.”

 

*************

 

Nari berjalan pelan dengan wajah tertunduk. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu akan kemana, hanya melakukan rutinitas sehari-hari yaitu keluar rumah untuk melanjutkan pencairan terhadap Max dan Minho. Itu pun nampak percuma, hanya terlihat seperti kegiatan sia-sia untuk membuang waktu. Bagaimana tidak? Ia mencari tanpa modal apa-apa, tanpa teman, tanpa informasi, tanpa apapun yang bisa menuntunnya ke jalan yang tepat. Ia sudah lelah mencari di rumah mertuanya karena memang sepertinya Minho tidak lagi dititipkan disana. Sudah beberapa kali Nari menunggu diluar pagar rumah itu, bersembunyi ditempat yang akan menyembunyikan tubuh langsingnya, menunggu siapa tahu mobil Max terparkir disana. Sayang, hingga malam, hingga berubah pagi dan berlanjut lagi sampai ke malam-malam berikutnya, Nari tidak menemukan tanda-tanda kehadiran Max ataupun Minho. Kenapa tidak meminta bantuan Eunhyuk? Nari sudah berjanji untuk berjuang sendiri. Tidak merepotkannya, tidak menambah masalah dan kesalahpahaman dengan menyeret pria itu.

Maka sudah satu minggu ini Nari hanya mencari dengan berjalan kaki, melihat-lihat sekitar berharap Tuhan berbaik hati  mempertemukannya tanpa sengaja dengan suami dan anaknya. Dan karena kefokusannya hanya tertuju pada dua manusia itu, Nari begitu cuek dan tidak sadar sudah berapa kali ia mendapat umpatan dari orang-orang karena berjalan tanpa mata yang benar. Menabrak seseorang, menjatuhkan kantong kresek seseorang, menjatuhkan eskrim seorang bocah, dan masih banyak lagi.

Jika mulai lelah, ia biasanya akan duduk atau bersandar pada apapun yang bisa menopangnya, termasuk tong sampah. Wajahnya yang mulai tirus karena satu bulan lebih ini tidak mendapat asupan yang cukup dan rautnya yang tidak pernah disebut bagus membuatnya seperti dua orang diseberang jalan yang tengah menunggu belas kasih pejalan kaki. Beruntungnya, meski ia tidak perduli dengan urusan kesehatan, ia masih cukup waras untuk tidak berpakaian asal saat bepergian. Yah tidak berdandan, hanya pakaian normal dan bedak tipis. Jika tidak, atau jika ada selembar sapu tangan terhampar di depannya, orang-orang akan meletakkan kepingan uang receh disana. Hey, ini Korea Selatan di tahun 2018 bukan? Jangan tanyakan pada Nari kenapa di jaman semaju ini masih ada orang-orang tidak beruntung seperti itu. Nari tidak tahu dan tidak mau tahu.

“Hahh..” tidak perlu dihitung sudah berapa kali ia mendesah seperti itu. Tak terhitung dan itu cukup menggambarkan bagaimana frustasinya ia. Terlebih mengingat besok adalah sidang lanjutan perceraiannya. Dan sejauh ini situasi nampak akan makin menyudutkannya.

Besok adalah agenda keterangan para saksi. Nari menebak jika mertuanya akan menamparnya keras dengan cerita tentang tingkah bodohnya terhadap Max. Nari mungkin harus siap dengan stok kesabaran sebanyak mungkin dan kekuatan dagunya untuk terus mengangkat seolah keterangan buruk yang akan dikatakan besok tidak ada pengaruhnya.

Tiba-tiba Nari teringat satu nama yang terlupakan. Dulu ia pernah ke apartemennya untuk mencari Max dan Minho. Dan saat itu tebakannya salah. Tapi sekarang, mungkinkah jika….sekarang mereka benar-benar disana ?

“Jaejoong.”

Nari melangkah cepat dan kali ini lebih brutal menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Ia tidak merasa butuh taksi. Rasanya jarak dari sini menuju apartemen Jaejoong hanya beberapa blok. Maka dengan menguatkan kaki, Nari terus berjalan kesana.

 

******************

 

Nari sudah berada didepan pintu apartemen Jaejoong. Tanpa ragu Nari menekan bel berkali-kali dengan tidak sabar. Saat terdengar derap langkah menuju pintu, Nari bergeser ke dinding, berusaha tidak terlihat jika si pemilik langkah mengintip terlebih dulu melalui lubang kecil di pintu. Dengan menarik nafas berkali-kali Nari berharap yang sebentar lagi akan menyambutnya adalah Max, Minho atau Jaejoong sekalipun tidak apa. Siapa tahu ada informasi yang didapat.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Si jangkung atau si pembuka pintu mengernyit heran saat tidak menemukan siapapun didepannya. Ia tolehkan kepala ke kanan dan matanya bertabrakan dengan mata sayu Nari.

“Max……”

Max membulatkan mata dan mulutnya mendapat tamu yang sangat tidak diundang itu. Meski sempat hanyut seolah lupa harusnya ia segera menutup pintu, akhirnya ia sadar juga. Ia bergerak cepat hendak menutup pintu. Tapi siapa sangka jika Nari bisa menghadangnya? Max kalah cepat, tangan Nari yang entah mendapat kekuatan dari mana mampu menahan pintu yang akan ditutup. Padahal Max sudah menggunakan cukup kekuatan.

Nari memandang Max tajam, memperlihatkan jika ia berusaha kuat menahan pintu itu. Tapi beberapa saat kemudian rautnya berubah lemah. Setitik air mata jatuh dipipinya.

“Tolong..jangan begini. Jangan hukum aku seperti ini,” pinta Nari lirih. Max pun bisa menangkap betapa putus asa nya Nari.

“Pulanglah!” perintah Max berusaha sedingin mungkin. Bisikan itu, bisikan yang membuatnya kukuh dengan pilihan awal terdengar lagi dan lagi-lagi sukses menguasainya.

“Tidak sebelum aku masuk dan bertemu Minho,” balas Nari sambil menghapus air matanya, “Tolong……Beri aku kesempatan, kita perlu bicara, ada hal yang perlu kusampaikan, aku…”

“Mama?”

Nafas Nari tercekat. Baru saja ia ingin mengungkapkan perasaannya terhadap Max, sebuah suara mungil yang cukup lama tidak ia dengar menginterupsi. Ia alihkan pandangan ke asal suara dan menemukan Minho berdiri dengan memegang robot Power Rangers nya.

“Mama….” Sekali lagi Minho bersuara dan bagaimana pun usaha Max tidak akan berhasil menghalangi Minho yang berlari memeluk erat Nari yang sudah berjongkok. Mereka berpelukan lama dan rasanya sebanyak apapun waktu tidak akan pernah cukup mewakili rasa rindu antara keduanya. Baik Minho ataupun Nari bahkan gagal menahan tangis. Dapat Max dengar suara televisi kalah oleh isakan istri dan anaknya. Ia kuatkan pegangan pada pintu melihat pemandangan itu. Bisikan yang sempat tertutupi terdengar lagi seolah memarahinya, “Lihat apa yang kau lakukan? Kau menyakiti mereka !”

Max menutup mata dan tidak beranjak sedikitpun. Bingung dengan semua ini, ia hanya berdiri dan tidak mau lagi melihat dua manusia yang sangat ia sayangi itu. Telinganya berusaha tuli dan tidak mendengar saat Minho dengan lirihnya berkata,”Minho kangen mama.”

Nari melepaskan pelukannya pada Minho.Ia usap pipi tembem anaknya yang basah. Senyumnya menolak untuk hilang, melihat sosok yang sangat ia rindukan sekarang berdiri didepannya benar-benar membuatnya bahagia.

“Minho..jangan nangis lagi ya! Mama disini,” katanya berusaha menenangkan tangis Minho. Cukup berhasil, karena anak itu perlahan merubah raut sedihnya menjadi senyum lucu yang lama tak dilihat Nari.

Mereka larut dalam suasana haru dan senang, maksudnya hanya Nari dan Minho. Mereka asik bermain robot terbaru milik Minho. Mereka juga bermain puzzle dan selama berusaha menyusunnya, Minho tidak beranjak dari pangkuan Nari. Sesekali Nari mencium kepala Minho merasakan wangi rambut khas anak itu. Ah, Nari ingin waktu berhenti saja sekarang.

Max tadinya berusaha membaur saat Nari berkata bersikap lah seperti biasa didepan Minho. Sayang, hanya satu detik, ia kehilangan keinginan itu. Ia memilih hanya diam memperhatikan interaksi antara ibu dan anak itu yang nampaknya menyenangkan. Ia biarkan Nari dan Minho melakukan apapun sesuka hati. Bermain, makan bersama, berlari mengelilingi sofa, apapun itu, Max berusaha tidak ikut bahkan mengacuhkan ajakan Minho yang begitu ingin bermain bertiga.

Dan pergerakan yang ia lakukan barulah sekarang. Ia berdiri didepan pintu yang sudah terbuka lebar. Nari yang baru saja keluar dari kamar setelah menidurkan Minho masih mengembangkan senyumnya. Setelah cukup puas dengan Minho, kini giliran ia dan Max yang butuh waktu berdua. Maka dengan ringan, Nari melangkah mendekati Max.

“Max, mungkin ini terdengar bodoh, terlambat dan sulit dipercaya tapi aku yakin ini benar. Aku…”

“Pintunya sudah terbuka lebar,” potong Max dengan nada sinis seolah tidak perduli apapun yang ingin disampaikan Nari. Bahkan ia tidak menatap mata istrinya.

“A-apa?” tanya Nari tidak percaya. Ia coba menarik perhatian Max agar menatapnya tapi pria itu terus membuang muka seolah tidak sudi menatapnya.

“Anggaplah kau beruntung hari ini. Sekarang silahkan pergi!” perintah Max dan kali ini ia tatap mata Nari.

“Tidak akan. Kau mau memisahkan aku dan Minho lagi? Aku akan tetap disini. Minho akan mencariku saat terbangun dan aku harus berada disampingnya saat itu,” balas Nari mulai emosi. Tidak mengerti kenapa Max berubah dingin begini.

“Tamu tidak akan bertahan lama berkunjung jika sipemilik rumah sudah memintanya pergi.”

“Max…apa aku perlu mengingatkanmu? Kau lupa, huh? Kau dulu berkata untuk berpisah baik-baik, kau berkata masih mencintaiku, kau bilang sudah memaafkanku.”

“Kalau begitu aku tarik ucapanku. Aku tetap ingin kita berpisah dengan cara apapun, aku belum memaafkanmu dan aku………..” Max menatap dalam mata Nari. Mereka beradu pandang seolah tak ada yang mau kalah. Max menggertakan gigi berusaha menguatkan hati untuk mengatakannya, tapi sulit  saat ia melihat ke dalam bola mata Nari, maka ia buang pandangan kemana pun, “Aku…tidak lagi mencintaimu.”

Nari terdiam. Nari ternganga mendengar pengakuan dari Max. Sebilah pisau terasa menghunus dadanya cepat. Ia berusaha menolak pernyataan itu, itu pasti hanya bualan yang dipaksakan. Max sangat mencintainya dan ia sangat tahu akan itu.

“Kau berbohong. Aku tahu siapa dirimu. Kau pasti bohong. Katakan kalau kau berbohong!” ucap Nari dengan air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. Sakit mendengar Max berkata seperti itu. Ia bahkan belum sempat mengatakan perasaannya.

“Sayangnya aku akan berkata kalau itulah yang sebenarnya.”

“Kau bohong!!!!”

“Keluar sebelum aku lebih tidak sopan dari ini!” perintah Max tegas. Kini emosi dan setan sudah menguasainya. Ia bahkan tidak punya rasa kasihan melihat Nari menangis seperti itu.

“Kau bohong!!!”

Max kehilangan kesabaran, ia tarik paksa tangan Nari keluar lalu menutup pintu dengan kasar.

BRAKKKKKKKKK

Nari tersentak saat pintu ditutup dengan keras tepat didepan wajahnya. Nafasnya seolah terhenti dan sekelilingnya tengah menertawakannya. Ia tidak percaya, tidak akan percaya jika Max berubah seperti itu. Itu bukan suaminya.

Di dalam, Max bersandar pada pintu dan perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Tangisnya yang tadi ditahan mendadak datang. Keangkuhannya yang tadi begitu kuat langsung runtuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Telinganya ia kunci dari teriakan-teriakan Nari dari luar.

“Max buka pintunya! Beri aku kesempatan lagi!”

Max menggeleng. Hatinya ingin sekali mengangguk dan berkata ‘Ya, aku memberimu kesempatan’. Tapi lagi-lagi bisikan itu datang, menyerangnya dengan teriakan yang tak kalah keras dari Nari, mengingatkannya sekali lagi untuk tidak ragu. Menguasai otak serta hatinya, menguasai sisi baik yang juga berusaha mempertahankan eksistensinya.

“Aku mencintaimu Max. Aku mencintaimu…”

Max menggeleng lagi menolak pernyataan yang tak diduga itu. Jika bisa, ia ingin sekali percaya dengan kalimat itu, tapi begitu sulit.

“Kau yang berbohong Nari! Kau tidak mencintaiku. Tidak pernah mencintaiku!”

Nari ikut merosot ke lantai. Tulang-tulangnya serasa lepas dari persendian. Tidak perlu ditanya seberapa banyak air mata yang ia tumpahkan, sebanyak apapun itu belum mampu melukiskan sebesar apa sayatan yang dibuat Max barusan. Kalimat ‘tidak mencintaimu lagi’, sikap dingin dan kasar Max, dipaksa menjauhi Minho, itu menyakitkan.

Nari menunduk dengan memeluk kedua lututnya. Ia tidak berminat beranjak sedikitpun, meski Max akan tetap mengusirnya jika melihat, meski Max kekeh dengan sikap dinginnya, Nari akan tetap disini. Setidaknya, ia menepati janji pada Minho untuk tidak pergi lagi, untuk tetap didekatnya jika anak itu terbangun, meski terhalang dinding dan pintu, tidak apa.

Tap…tap… tap…

Terdengar derap langkah kaki yang teratur dan santai mendekat pada Nari. Si pemilik kaki bersuara coba menarik perhatian Nari yang terlihat kacau, tapi belum berhasil.

“Nari-ah…” panggilnya sekali lagi dan barulah Nari menoleh padanya.

“Jae….”

Jaejoong ikut berjongkok dan sedikit ragu menanyakan apa yang dilakukannya disini, “Kau..sudah bertemu dengan Changmin ?”

Nari tersenyum kecut, “Dia bukan Max, dia bukan Shim Changmin, dia bukan suamiku, suamiku tidak begitu,”katanya pelan.  Jaejoong tersenyum miris terlebih melihat penampilan Nari, wajah basah, rambut acak. Ia menebak jika baru saja terjadi perang antara Max dan Nari. Entah perang macam apaitu, sepertinya bukan perang kecil melihat efeknya pada Nari saat ini.

“Apa yang terjadi?” tanya Jaejoong sepelan mungkin, sehati-hati mungkin agar tidak membuat Nari kembali meneteskan air mata. Tapi sepertinya gagal, Nari justru melakukan apa yang ditakutkan Jaejoong.

Jaejoong tentu tidak mengerti jika sudah menghadapi situasi seperti ini dimana seorang wanita menangis didepannya. Tapi nalurinya sebagai seorang pria seolah memerintahkan tangannya untuk mengelus atau setidaknya memegang bahu Nari. Tapi belum juga itu terlaksana, ponsel Nari berbunyi dan membuat Nari membersihkan sisa-sisa air matanya.

“Yoboseyo.”

“Apa ?” Nari nampak terkejut dengan kalimat dari si penelpon,”Aku…” agak ragu Nari menoleh ke arah pintu, seperti berusaha memilih dan akhirnya ia menarik nafas lalu menjawab, “Aku akan kesana sekarang.”

“Ada apa ?” tanya Jaejoong.

“Ryan terjatuh dari tangga,” jawab Nari cepat. Buru-buru ia bangkit dari bawah dan bersiap pergi tapi langkahnya terhenti begitu teringat suatu hal. Matanya menelisik pintu yang masih tertutup rapat itu.

“Mama pergi sebentar sayang,” batinnya berucap lirih. Sebelum tangisnya kembali pecah ia langkahkan kaki cepat meninggalkan Jaejoong yang sebenarnya ingin menawarkan tumpangan tapi sepertinya Nari terlalu cepat.

Setelah tak terlihat lagi, Jaejoong segera masuk ke dalam untuk menanyakan apa yang terjadi. Ia tak menemukan Max di ruang tamu, ia bergerak ke kamar dan pemandangan yang menyambutnya adalah Max tengah membereskan pakaiannya ke dalam koper.

“Kau mau kemana?” tanya Jaejoong yang terpaksa merubah pertanyaan awal yaitu’ apa yang terjadi dengan ia dan Nari’.

“Aku harus pergi, Nari sudah tahu, tempat ini tidak lagi aman,” jawab Max buru-buru sambil terus memasukan pakaiannya.

“Pergi lagi? Tidak aman? Kau lari dari apa, huh? Lari dari Nari?”Jaejoong coba mendekat dan meraih tangan Max untuk tidak lagi mengumpulkan pakaian.

“Aku harus pergi hyung.”

“Changmin!”Jaejoong berhasil menahan kedua tangan Max kuat. Dengan kesal ia lempar pakaian yang tadinya masih berada dalam tangan Max.

“Berhenti melarikan diri seperti ini.Sebelumnya aku memang mendukung apapun keputusanmu. Tapi coba kau lihat sekarang apa efeknya? Kau mau membawa Minho kemana lagi? Kau tarik ia ke berbagai tempat, kau tidak pikirkan apa yang ia rasakan? Ia rindu rumah, rindu rumah yang sebenarnya, bukan sekedar tempat tinggal. Dan kau lihat apa yang terjadi pada Nari. Kenapa kau harus menghalanginya untuk bertemu Minho. Sesalah apapun dia, seberapa besarpun dosa yang ia buat, ia tetap ibu dari anak kalian. Kau menginginkan hak asuh bukan berarti menutup akses antara mereka.”

Max menggertak giginya kuat. Kedua tangannya mengepal seolah akan membuat tanda biru di wajah pria cantik didepannya. Ia menolak itu, menolak apa yang dikatakan jaejoong. Kemarahan serta rasa balas dendam menutupi segala pikiran baik yang ia punya. Ia gagal untuk melawan bisikan itu.

“Aku pikir kau berada di pihakku hyung,” kata Max dingin.

“Hah! Buka matamu! Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya seseorang yang melihat masalah kalian dari segala sudut pandang. Awalnya aku tidak mengerti, tapi setelah melihat semuanya, aku rasa pilihanmu keliru,” sahut Jaejoong mulai menaikkan intonasi.

“Keliru kau bilang? Aku menceraikan Nari itu keliru? Aku menginginkan hak asuh Minho kau pikir itu keliru?” tanya Max tak kalah sengit.

“Keliru karena kau memisahkan mereka, memisahkan ibu dan anak.Nari ingin bertemu anaknya adalah wajar.”

“Aku ingin Nari merasakan sakit yang aku rasakan.”

Jaejoong menarik sedikit ujung bibirnya, nampak mencibir lalu tertawa sinis. Kalimat yang baru saja ia dengar tidak terlihat seperti hasil rangkaian mulut seorang Shim Changmin. Ia pandang pria yang lebih tinggi darinya itu beberapa saat.

“Oh terima kasih sudah mengingatkanku kalau kau sangat tersakiti karena Nari. Dan terima kasih kau mengingatkanku harusnya Nari merasakan hal yang sama. Jadi itu yang kau inginkan? Balas dendam?” tanya Jaejoong keras. Ia dekatkan wajahnya dengan Max dan mereka kembali beradu pandang. Max hanya diam.

“Shim Changmin yang kukenal sangat mencintai istri dan anaknya. Shim Changmin yang kukenal paling pantang menyakiti istri dan anaknya, SETAN MANA YANG MERASUKIMU ?” teriak Jaejoong tepat diwajah Max.

“Aku tidak akan berubah pikiran.”

Max menjauh dari Jaejoong lalu kembali mengambil pakaiannya yang tercecer dan melanjutkan untuk mengepak semua barang-barangnya. Setelah selesai, ia alihkan pandangan pada Minho yang masih terlelap. Tanpa ragu lagi ia gendong tubuh anaknya dan menarik kopernya keluar kamar. Minho yang merasa terganggu perlahan membuka mata. Ia kucek mata berkali-kali hingga baru menyadari ia tengah dalam gendongan papanya dan paman Jaejoong mengejar mereka. Apa yang terjadi ? Dimana mama?

“Papa….kita mau kemana lagi? Mama mana?” tanya Minho polos. Meski bingung ia tidak merengek seperti sebelumnya. Terlebih melihat wajah papanya yang merah, mata menyalang dan gigi yang menggertak kuat. Persis seperti yang pernah ia lihat saat papanya memarahi mamanya kala itu. Minho takut.

“Kita harus pergi.”

“Changmin! Berhenti !” teriak Jaejoong dengan langkah cepat berusaha mencegah Max yang sudah melewati pintu.Meski Max punya kaki panjang yang memungkinkannya melangkah jauh, tapi Jaejoong berhasil mendekatinya dan dengan kasar menahan tangan Max. Begitu Max berhenti tanpa ragu ia layangkan sebuah hadiah.

PLAKKK

Max terdiam. Minho semakin takut dan menggigit bibirnya, tidak mengerti apa yang terjadi antara papa dan pamannya.

“Jika kau masih mau pergi, silahkan! Tapi jangan bawa Minho!” bentak Jaejoong  lalu dengan gesit dan juga tanpa perlawanan dari Max, Jaejoong berhasil merebut Minho hingga kini bocah itu berada dalam gendongannya.

Jaejoong melangkah masuk ke dalam apartemennya dengan emosi yang membuncah karena ulah Max. Benar-benar tidak mengerti sahabatnya itu sudah kerasukan setan jenis apa hingga berubah egois dan tidak bisa berfikir dengan jernih seperti tadi. Jaejoong tidak habis pikir kenapa Max harus terus-terusan berlari? Kenapa tidak berjalan santai atau duduk tenang dan mendengar pembelaan Nari? Kalaupun sakit hatinya sudah tak terobati, kenapa tidak membuka jalan bagi Nari untuk bertemu anaknya. Hanya membiarkan ibu dan anak bercengkrama apa salahnya?

Max diam, arah matanya tertuju pada lantai di bawah dimana terdapat bayangan tubuhnya sendiri. Bayangan yang selamanya akan berwarna hitam itu ikut merosot saat si pemilik tubuh bersimpuh. Air matanya perlahan jatuh membentuk genangan kecil dilantai.

“Siapa kau ?” tanyanya pada bayangan hitam itu. Max pun tidak mengerti dengan tindakannya. Dia hanya mengikuti bisikan yang terdengar sangat dominan sejak tadi. Bisikan yang mampu menguasai otak dan menutupi nuraninya yang berusaha menolak.

Max pejamkan mata membuat tetesan air matanya makin membuat titik lebih banyak dilantai. Ia tarik nafas panjang dan coba mengusir segala pikiran gila yang tadi menduduki tempat paling atas. Dan saat hal-hal baik mulai berdatangan dipikirannya, rasa sesal atas apa yang sudah dikatakan dan dilakukannya terhadap Nari ikut datang. Sungguh, itu bukan dirinya. Ia tidak pernah ingin berpisah dengan Nari, sudah memaafkannya dan tidak perlu diragukan bahwa hanya Nari wanita yang dicintainya. Tapi tidak bisa dipungkiri juga kalau hanya Nari yang sukses membuat Max seperti ini. Hancur.

“Maafkan aku…………”

 

***********************

 

November 2018. Musim gugur segera menutup diri dan mempersilahkan musim dingin menggantikan. Daun-daun berguguran dari tempatnya dan memilih terbaring atau merentangkan tubuh di sembarang tempat. Yang pasti beberapa sudah terinjak oleh kaki-kaki yang berjalan tegesa ataupun lemah itu.

Dua helai daun kuning yang datang entah dari pohon yang mana, sudah tak terbentuk karena ulah kaki wanita yang mungkin tengah super kesal. Wanita yang baru saja keluar dari gedung menyebalkan itu menghentakkan kakinya, marah dan mengumpat pada pria berdasi di sampingnya. Nari yang sejak tadi hanya memperhatikan, jadi ikut prihatin dengan nasib daun-daun itu. Miris, seperti melihat dirinya yang….apakah akan senasib daun itu? Terinjak-injak atau justru ia yang akan jadi pelaku ke sekian yang merusak bagian tumbuhan itu? Itu baru akan terlihat setelah Nari masuk, dan tunggu saja apa yang terjadi saat ia keluar.

“Hah..”Nari semakin malas memasuki gedung pengadilan perceraiannya. Terlebih saat matanya bertatapan dengan orang tua Max. Mereka menatap Nari dingin, seolah memberi tahu untuk bersiap-siap karena kesaksian yang akan diberikan. Yah, Nari sudah mengantisipasinya sejak jauh-jauh hari. Ia sudah menebak jika mereka akan dimintai keterangan dan sudah terbaca pula apa yang akan dikatakan. Semuanya kah? Mungkin.

Nari melihat-lihat sekitarnya dan tidak menemukan Max. Dengan ragu Nari tetap berjalan masuk tetapi dengan mata terus berpencar mencari sosok yang dicari. Saat ia sudah duduk di kursi paling depan pun, ia belum melihat Max. Nari terus melebarkan mata kalau-kalau ia melewatkannya. Saat matanya kembali pada kursi kosong disebelahnya, ia terkejut. Yang dicari-cari baru saja menempati tempatnya.

Nari perhatikan wajah itu berharap yang ditatap berniat balas melihat atau respon sekecil apapun, tapi nihil, percuma. Nari berhenti menatap wajah suaminya saat sang hakim berdehem sekali lalu bersuara dengan gaya khasnya untuk memulai sidang.

Sidang kali ini dipergunakan untuk mendengarkan keterangan para saksi. Untuk menguatkan keinginan Max yang ingin berpisah. Jika semua bukti sangat kuat, tidak menutup kemungkinan hakim akan mengambil keputusan saat ini juga.

Saksi yang dibawa oleh Nari ataupun Max sama, kedua orang tua mereka sendiri. Dan untuk orang tua Nari, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena dengan tenang mereka berkata, pertengkaran yang dikatakan Max hanya alasan yang dibuat-buat. Rumah tangga Nari dan Max tidak pernah didera angin kencang yang menyebabkan pertengkaran terus-menerus. Mereka bukan mengarang agar Nari mendapat keuntungan. Mereka bicara jujur karena memang selama ini tidak ada hal-hal berbau aneh dengan pernikahan anak mereka. Tapi ada satu yang tidak mereka katakan. Fakta yang baru-baru ini diketahui mereka, fakta yang tidak pernah mereka duga itu mereka tutupi, bukan dibagi-bagi pada hakim.

Tapi itu tidak berlaku bagi orang tua Max. Awal cerita mereka juga sama, tidak tahu menahu dan berpikir rumah tangga anak mereka hanya punya satu judul yakni ‘bahagia dan baik-baik saja’. Tapi mereka sudah mengetahui kenyataan bahwa semua hanya topeng. Meski sebelumnya Max sudah mengatur semua hingga yang akan dikatakan adalah bualan kalau Max dan Nari kerap bertengkar, sepertinya orang tua Max berubah. Terutama sang ibu. Dengan urat yang membentuk cepat, ia menunjuk-nunjuk Nari, melemparnya dengan pernyataan menyakitkan.

“Wanita ini tidak pernah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri! Wanita ini selalu menolak suaminya. Dia tidak menerima lamaran Max dengan dasar cinta. Dia terus-terusan menyakiti Max hingga akhirnya terbukti kalau dia………menyerahkan malam pertamanya pada pria lain.”

DEG

Nari menutup mata dan menunduk. Jantungnya terasa ditusuk berkali-kali, terus-menerus dan ditempat yang sama. Menusuk hingga bagian terdalam dan berakhir dengan tembus ke belakang. Sakit, sangat sakit mendengar sang mertua membuka aibnya seperti itu, Nari berusaha berpegang pada keyakinan bahwa ini akan berakhir baik meski itu mulai terlihat seperti mimpi saja.

“Dia sudah gila! Dia tidak pantas menjadi seorang istri! Dia juga tidak bisa memberikan ket…….”

“CUKUP !!!” teriakan Max membahana. Dadanya naik turun cepat seiring dengan emosinya yang tak terkontrol. Ia kecewa. Orang tuanya sudah berjanji untuk tidak membuka aib itu, tidak berkata secara terang-terangan tapi apa yang dikatakan ibunya barusan menurutnya sudah keterlaluan. Itu hanya membuat Nari semakin sakit dan juga membuatnya menambah daftar rasa bersalah pada Nari.

Situasi mulai tidak terkendali dengan Max dan ibunya yang saling bertatapan penuh amarah serta kekecewaan. Nari yang menangis dan suara debat salah waktu yang dilakukan dua pengacara, seperti saling berusaha mempengaruhi hakim. Tapi hakim dengan tegas mengetuk palu berkali-kali meminta semuanya tenang.

“Sidang ditunda selama dua jam kedepan.”

Tiga ketukan palu sebagai tanda kalau tim pengadil akan berunding dan berakhir pada keputusan yang tanpa disebutkan pun, rasanya Nari sudah bisa menebak. Ia kalah.

Max dan ibunya masih bertatapan. Nari yang sudah sedikit lebih tenang berdiri cepat dan berlari keluar. Ekor mata Max melihat gerakan itu, maka mengacuhkan panggilan orang tuanya, ia kejar Nari keluar.

Sedikit terengah dan memegangi dadanya, Max berhenti sejenak untuk melihat kemana arah Nari pergi. Ia lanjut mengejar dan menemukan Nari yang tengah terisak, duduk di kursi panjang di sebuah taman kecil tak jauh dari gedung pengadilan. Kursi yang dijatuhi beberapa helai daun itu jadi tempat Nari meluapkan perasaannya. Bukankah tadi ada pertanyaan akan jadi apa Nari setelah keluar gedung? Seperti daun yang terinjak atau jadi pelaku penginjak karena kekesalan? Tapi bagi Nari ia seperti keduanya.

Max berhenti untuk mengatur nafas sekali lagi. Belum memperkecil jarak antara ia dan calon mantan istrinya itu. Ia tidak bisa bayangkan apa yang dirasakan Nari setelah penyiraman kata-kata kasar seperti tadi. Maka dengan menutup mata sejenak, meyakinkan jika bergerak mendekat bukan kesalahan, ia berjalan kesana. Semakin dekat, semakin terdengar pula tangis Nari. Semakin tergampar pula pilu itu, semakin bertambah pula rasa bersalah Max.

Max sudah berada didepan Nari, belum bersuara. Jika ada hal yang sangat ingin dilakukannya saat ini, itu adalah memeluk tubuh Nari, menenangkannya. Tapi sekarang? Alih-alih menenangkan, justru dia yang sudah membuat Nari seperti itu. Perlahan, Max memilih mengambil bagian kosong di samping Nari. Duduk tenang menghadap ke depan, melihat daun-daun yang terus jatuh.

“Mianhe….” ucap Max lirih. Nari membuka mata dan menghadap pada Max sejenak. Ia usap air mata di pipinya lalu tersenyum kecut, “Aku pantas. Kau menang Max. Kau sudah jelas menang.”

“Kenapa kau suka sekali menyakiti diri sendiri ? Kau menerimaku, itu sudah suatu keterpaksaan bukan? Aku melepasmu kenapa sekarang kau justru seperti ini?” tanya Max pelan masih tanpa menoleh pada Nari.

“Karena ini yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Karena ada satu kalimat yang harusnya ku ucapkan sejak dulu. Karena ada seseorang yang baru kusadari begitu berarti,” jawab Nari dengan senyum lemahnya.

“Jangan menghiburku,” ucap Max ikut tersenyum kecil. Ia menoleh sebentar pada Nari, melihat wanita itu menunduk.

“Aku tahu. Kau pasti tidak akan percaya.”

Setelah kalimat Nari, mereka sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Sama-sama mengumpulkan kekuatan hati. Sama-sama menyiapkan mental akan keputusan yang diambil hakim.  Sama-sama mengumpulkan kepingan memori antara mereka. Sama-sama mengingat semua secara lengkap karena mungkin…..mungkin Tuhan akan memperlihatkan takdir mereka sebentar lagi. Perpisahan.

Hanya sepi untuk beberapa saat. Nari sebenarnya sangat ingin bertanya bagaimana dengan Minho. Apakah anak itu merengek mencarinya kemarin? Tapi semua kata yang ia punya tersendat.

Tak lama, Max bersuara, “Aku jadi ingat saat kita pertama bertemu. Kau masih ingat ?” tanya Max tanpa menoleh dengan nada yang dipaksakan ceria. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Nari beberapa menit ini, tapi ia hanya ingin mengulang satu persatu perjalanan hubungan mereka sebelum otaknya dipaksa untuk melupakan.

Nari tersenyum simpul menanggapinya. Sedikit teralihkan dengan pertanyaan itu. Memorinya kembali pada 2012 dimana pertama kali ia melihat Max yang…

“Kau berlari mengejarku untuk memberikan kembalianku yang terlupa. Apakah kau terkejut jika aku bilang itu bukan yang pertama dan sangat disengaja? Maksudku,..aku sudah sering secara sengaja melupakan kembalian, berharap kau mengejarku dan kita bisa saling kenal. Tapi……kau hanya mengingat satu. Hanya satu kali kau mengejarku.”

Nari menoleh pelan untuk melihat Max. Itu fakta baru, ia tidak pernah tahu kalau Max sudah sering melakukan itu dan tujuannya demi menarik perhatiannya? Saat itu Nari memang masih sangat memikirkan kepergian Eunhyuk. Mungkin itu juga yang membuatnya tidak fokus bekerja. Jadi sudah beberapa kali ia membuat supermarketnya untung karena tidak mengembalikan uang kembalian Max?

“Aku tebak kau pasti terkejut,” Max tersenyum lagi lalu melanjutkan, “Hm..Kau ingat saat kau dengan percaya dirinya menganggap aku butuh tumpangan?”

Nari tidak menjawab dengan suara, lagi-lagi ia hanya mengangguk dalam diam. Ikut hanyut dalam memori itu. Saat itu ia pulang cukup larut dari supermarket dan bertemu dengan Max. Dengan yakinnya Nari menawari tumpangan pada Max, bahkan tanpa rasa takut kalau-kalau Max punya niat jahat.

“Karena tebakan konyolmu itu, aku jadi terbawa arus dan mengarang banyak cerita. Benar-benar…..”

Nari berusaha membentuk senyumnya meski terlihat tidak begitu berhasil. Ya, setelah malam itu, Max mengaku padanya sebagai supir pribadi dari seorang pemuda kaya raya. Tentu Nari yang dulu langsung percaya, mengacuhkan keanehan dari tampang Max yang terlalu berlebihan untuk seorang supir. Nari justru sangat senang karena mendapat teman sesama asal korea.

“Hmm lalu saat kita makan di restoran, kau ingat juga? Lagi-lagi kau melakukan hal yang tidak terduga. Sulit menebak apa isi otakmu.”

Max kembali pada masa itu. Saat ia sedikit lupa dengan identitas baru yang hanya seorang supir dan membawa Nari ke restoran mahal. Nari awalnya menolak karena merasa seorang Max tidak akan mampu membayar bahkan dengan gajinya sekalipun. Tapi Max mengotot dan tetap ingin menikmati makan siang disana. Pada akhirnya otak kelewat pintar hasil pikiran Nari membawanya pergi ke dapur sangat lama. Sangat lama hingga Max nyaris mati bosan menunggu. Sampai akhirnya Nari kembali dan berkata……

“Aku sudah membayarnya. Kau tenang saja. Dan lain kali jangan bawa aku kesini!”

“Hah? Kau membayarnya?”

“Max yang bodoh, coba kau pikir, dengan apa kita membayar biaya makan disini? Coba lihat makanmu! Tiga kali lipat dari makananku.Jadi aku berinisiatif untuk mencuci semua piring sebagai ganti biaya makan kita.”

“HAH?”

Kkkk. Max terkekeh pelan mengingat betapa saat itu ia terlihat seperti pria paling bodoh. Tampang tidak percayanya yang dibalas Nari dengan senyuman bangga seolah dia sudah melakukan hal yang sangat baik. Ya Tuhan, saat itu juga Max ingin sekali menjitak kepala Nari.

“Lalu…saat aku mengajakmu ke Jakarta untuk menyaksikan konser super junior, apa kau tidak curiga ?” tanya Max yang kali ini tidak seceria sebelumnya. Nari pun begitu, senyumnya yang tadi mengembang tiba-tiba kabur. Baru saja ia sedikit terhibur dengan mengingat momen-momen lucu tempo dulu, Max justru membawanya juga pada bagian yang berhubungan dengan super junior, dengan Eunhyuk.

Nari coba tetap memaksakan senyum sebagai jawaban. Ia tidak curiga ?Tentu saja curiga. Sebodoh-bodohnya dia, sestandar apapun otaknya, ia tetap punya kecurigaan terhadap Max.

Silahkan dihitung, saat Max sudah lebih dekat dengan Nari dan dianggap sebagai teman, ia sangat sering berkunjung ke supermarket. Jika Nari bertanya apa ia tidak bekerja? Maka Max akan menjawab bosnya sedang tidak bepergian, jadi ia pun cukup santai. Lalu kenapa ia tetap bisa membawa mobil bos nya? Max menjawab kalau bos nya memberi kebebasan untuknya membawa mobil mahal tersebut. Hm saat itu Nari masih mengangguk percaya.

Lalu tak lama Max datang dengan motor bebek baru, saat ditanya Max bilang bosnya yang memberikan. Hey, bosnya itu dermawan macam apa? Belum lagi ponsel baru yang dibelikan Max untuk Nari sebagai ganti ponselnya yang dijual tukang service menyebalkan itu. Semua masih dalam tahap kepercayaan Nari. Tapi saat Max menyodorkan tiket konser super junior, Nari mulai curiga. Kenapa ?Karena Max sudah mendapatkan tiket VVIP padahal penjualan tiket belum di buka. Dan alasan yang digunakan adalah karena Max memiliki kenalan dengan promotor acara itu. Jadi Max dikelilingi orang-orang dermawan, begitu?

Nari makin menangkap ada yang tidak beres dengan Max. Ada banyak kebohongan yang dilakukan pria itu. Akhirnya Nari tetap ikut ke Jakarta dengan keanehan baru. Yaitu tiket pesawat dan biaya menginap di hotel yang di dapat Max dengan pinjaman bosnya. Ah Jika boleh jujur tebakan Nari saat itu adalah bukan karena Max orang kaya raya. Tapi karena Max menyukainya dan rela merampok, mencopet atau tindak kriminal lain demi memberikan Nari banyak barang atau kesenangan.

“Saat mengetahui konser itu, aku jadi terpikir untuk menyatakan perasaan padamu dengan cara yang beda, didepan puluhan ribu penonton. Maksudku itu strategi agar aku mendapat kaya ‘Ya’ karena pasti kau akan berpikir dua kali untuk menolak dan mempermalukan aku.”

Max berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Hawa dingin yang mulai datang membuatnya memasukan kedua tangan kedalam saku celananya.

“Aku kenal baik dengan pihak promotornya, maka bukan perkara sulit untuk menjalankan niatku. Yah semua terlihat lancar, bahkan saat aku meminta izin pada seluruh member super junior. Aku melihat Eunhyuk, tapi sepertinya dia tidak melihatku, dia….terlihat murung.”

Hah, Nari meremas ujung jaketnya. Kesal kenapa Max harus menyebut nama itu, harus membahas itu. Kenapa harus merusak suasana dengan mengait-ngaitkan kenangan mereka dengan Eunhyuk ?

“Aku pikir semua akan berjalan sesuai rencana, tapi….tanpa ku duga kau justru berlari keluar dan meninggalkanku di atas panggung. Kau tahu? Saat itu nyaris semua member super junior menepuk bahuku dan memintaku untuk mengejarmu.”

Nari mengingat bagian itu saat ia berada di tengah penonton lalu tiba-tiba tubuh tinggi Max terlihat berada di antara para member lalu menyanyikan lagu yang sangat romantis. Jangan ditanya itu lagu apa, Nari tidak mengerti artinya karena memakai bahasa inggris. Yang ia tahu, suasana saat itu betul-betul indah. Ditambah dengan lampu yang menyorot padanya. Tapi saat Max menyatakan perasaannya, saat Max meminta jawaban, Nari tidak tahu harus berbuat apa. Ia melihat-lihat sekitar dan tidak menemukan Eunhyuk. Ia coba pejamkan mata mencari jawaban, yang didapat justru bayangan wajah Eunhyuk. Maka tanpa berpikir itu sangat memalukan, Nari berlari keluar meninggalkan Max.

*****Destiny*****

“Siapa kau?” tanya Nari datar tanpa mengalihkan pandangan dari bawah dimana hanya ada sepatunya serta tanah. Max dan Nari duduk bersebelahan di sebuah bangku panjang di depan gedung tempat berlangsungnya konser. Dan pertanyaan yang keluar dari bibir Nari adalah karena ia yakin, Max menyembunyikan banyak hal.

“Aku? Aku hanya pria biasa yang tergila-gila dengan seorang kasir supermarket.”

“Dan kau bukan supir?” tanya Nari masih mempertahankan nada bicara yang dingin. Max tersenyum simpul. Mungkin sudah saatnya ia jujur. Bukankah tidak baik memulai hubungan dengan kebohongan?

“Sebut saja aku pria beruntung yang dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan.”

“Kenapa kau melakukan banyak hal untukku?” tanya Nari lagi dan kali ini ia menoleh pada Max. Mereka bertatapan sejenak lalu Max membuang pandangan ke langit, menengadah melihat bintang.

“Apa itu pertanyaan yang perlu kujawab? Kau sudah tahu jawabannya.”

“Tapi..kenapa harus aku?”

Nari memang tidak mengerti untuk hal ini. Kenapa Max bisa menaruh hati dan harapan padanya yang bahkan masih sulit lepas dari Eunhyuk meski ia sudah berkali-kali berjanji pada diri sendiri untuk maju.

“Bagiku, cinta tak butuh alasan. Aku mencintaimu karena kau cantik? Kau bahkan tidak lebih cantik dari mantan-mantanku terdahulu. Kau pintar? Kau bahkan bisa sangat menjengkelkan jika kau melakukan hal-hal bodoh.”

Nari tersenyum, Pria ini bukannya memuji justru berkata terlalu jujur.

“Aku tidak bisa mengatakan aku mecintaimu karena suatu hal. Perasaan itu datang bahkan saat pertama kali aku melihatmu. Rasa ingin melindungi, ingin mengembalikan senyummu yang hilang entah karena apa. Rasa ingin terus melihat senyummu. Aku bahkan rela tidak mengerjakan setumpuk map dikantor dan memilih menemanimu menjaga supermarket. Kau…membuat hariku berwarna. Kau….”

Max menggantung kalimatnya. Apa yang ia rasakan tidak akan cukup diwakili dengan rangkaian kalimat sebagus apapun. Yang jelas, ia mencintai gadis di sampingnya, ia menyayangi gadis bodoh dan lugu itu. Max bangkit dari duduknya, berdiri dihadapan Nari dengan menjulurkan tangannya.

“Terima jabat tanganku. Percayakan aku sebagai seseorang yang akan menjagamu.”

Nari menatap tangan itu cukup  lama. Menutup mata beberapa detik berusaha meyakinkan hati. Tak lama terdengar suara kembang api. Mereka menoleh bersamaan dan menemukan puluhan kembang api bermain-main diatas gedung itu. Mungkin itu pertanda konser telah usai.

“Jadi?”

Nari berdiri, dengan senyum keyakinan, ia menerima uluran tangan Max dan melangkah bersama meninggalkan gedung itu. Kembang api dengan berbagai warna dan bentuk mengantarkan langkah mereka yang ringan.

****Destiny****

“Waktu terlihat cukup bersahabat denganku.Meski saat itu cukup memalukan, kau tetap menyambut perasaanku. Dan hanya dalam hitungan bulan kau menerima lamaranku. Tapi…waktu lebih bersahabat denganmu dan Eunhyuk. Kalian hanya butuh waktu dua minggu untuk  membuat tali sekuat baja.”

Nari menguatkan remasannya pada jaket. Kenapa lagi-lagi Max membahas itu? Ia sudah sangat sadar akan kelakukannya, tidak perlu diingatkan berkali-kali.

“Aku sadar selama ini sudah memaksakan perasaanmu.Kau berhak bahagia.Dan untuk itu, aku melepasmu.”

Kali ini Max mengepalkan tangannya yang berada dalam saku. Apa yang ia katakan sejujurnya tidak mudah. Hanya membuatnya menjadi suatu ucapan saja itu sudah begitu sakit. Apalagi menjalaninya.

“Kau terlalu banyak bicara,” ucap Nari pelan. Itu adalah kalimat pertama yang terbentuk sejak tadi dimana hanya Max yang mengambil alih cerita.

“Kau terlalu banyak bertindak bahkan tanpa mendengarkan apa yang ingin aku lakukan. Kau melepasku. Kau pikir itu benar?”

Mereka diam. Membiarkan daun-daun lalu lalang dihadapan mereka. Max melihat-lihat ke arah lain berharap air matanya tidak tumpah sekarang. Nari pun demikian. Sayangnya ia gagal, gagal menahan luapan emosinya. Ia..menangis lagi.

“Keputusanku sudah bulat. Aku bukan pria yang bisa membahagiakanmu.”

“Aku yang menjalani dan merasakannya. Harusnya aku yang menentukan siapa yang bisa membahagiakanku.”

“Dan aku bukan pria itu, dia adalah Eunhyuk.”

“Kau ingin aku seperti itu? Bersama dia?”

Jika bisa, Max akan menjawab BUKAN! Bukan kenginannya Nari bersama Eunhyuk, tapi karena keadaan.

“Rasanya selama ini aku tidak pernah meminta apapun darimu,” kata Max lalu menatap mata Nari. Perlahan ia bangkit dan tanpa diduga ia berlutut didepan Nari, menunduk didepannya.

“Aku tidak pernah meminta apapun darimu. Tapi sekarang…aku hanya meminta ini darimu. Biarkan aku melepasmu dan biarkan Minho bersamaku.”

Max mengucap dengan lirih bahkan setetes air jatuh mencetak bulatan kecil dicelananya. Sungguh, ia tidak pernah ingin akhir cerita antara ia dan Nari berakhir seperti ini. Tapi ia bisa apa? Sudah cukup ia bertahan selama ini. Nari tidak pernah benar-benar mecintainya. Kalimat yang ia dengar kemarin baginya hanya angin lalu yang menyegarkan sesaat, bukan melekat.

Nari memejamkan mata membuat pipinya semakin basah. Kenapa Max tidak mau mendengarnya? Kenapa Max tidak mau percaya tentang perasaannya? Apa sebegitu sulit baginya mendapat kepercayaan? Dan lagi…kenapa harus Minho sebagai gantinya? Nari lebih baik mati ketimbang harus dipisahkan dari anak itu.

“Mianhe………….biarkan aku memilikinya,” lirih Max yang masih menunduk. Tanah, kerikil serta dedaunan sudah basah karena ulahnya yang gagal menahan tangis. Dadanya sesak. Maka sebelum semua makin tidak terkontrol, Max berdiri. Ia berbalik membelakangi Nari dan menghapus air matanya. Ia tarik nafas panjang untuk menguatkan hati. Tanpa menunggu jawaban Nari, ia melangkah pergi.

“Kau adalah pria normal.”

DEG

Max tersentak. Kakinya mendadak tidak punya kekuatan untuk melangkah lagi. Air mata yang sudah dihapusnya datang lagi.Kalimat singkat dari Nari barusan cukup untuk membuatnya jungkir balik.Itu fakta yang……….terlupakan.

“Kau……adalah…….pria……normal,” ucap Nari lagi tanpa berdiri atau melihat ke arah Max. Ia sengaja mengatakan itu penuh penekanan. Apakah setelah ini Max masih bersikukuh dengan keinginannya?

“Kau adalah pria normal yang bisa menikahi gadis lain dan memiliki selusin keturunan. Sedangkan aku?” tanya Nari berusaha kuat meski kalimat tadi merupakan pisau baru yang lebih tajam lagi menusuknya. Nafasnya mulai tidak teratur dan ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya berharap tangisnya tidak semakin menjadi. Ia akan kehilangan suami dan sekarang dipaksa untuk kehilangan anak juga. Max sangat tahu kalau ia tidak sempurna sebagai wanita, bahwa ia sudah divonis tidak bisa menjadi seorang ibu.

Max mengepalkan kedua tangannya. Urat-uratnya serasa ditarik cepat dan objek sasaran tangannya bukan orang lain melainkan diri sendiri. Max rasa ingin menghantam wajahnya. Ia merasa begitu jahat. Bagaimana mungkin ia mengesampingkan hal itu. Jadi sekarang ..tegakah ia ?

“Aku hanya memiliki Minho.”

Max tidak bisa menahan laju air matanya. Satu tangannya naik meraba dada meredam sakit  yang terasa disana. Otaknya bergumul dengan pilihan ini. Apakah ia sanggup jika harus menarik ucapan dan memberikan Minho pada Nari? Tapi hakim disana mungkin sudah punya keputusan. Semua..nampak terlambat. Maka masih dengan memegang dadanya, Max melangkah menjauh meninggalkan Nari disana.

                                                               *****Destiny*****

Ruangan berukuran 5 x 7 meter itu tampak sunyi meski ada sekumpulan orang di sana. Didepan, sederetan pria dan wanita dewasa nampak sibuk melihat-lihat lembaran kertas di atas meja. Di hadapan mereka, dua orang yang sama-sama mengangkat dagu seolah punya benteng kokoh hanya diam. Mereka menunggu, menunggu sang pengadil bersuara. Dan setelah kalimat yang ia ucapkan nanti, pria bertubuh tambun itu akan jadi orang kedua yang paling dibenci Nari setelah dirinya sendiri.

“Setelah menimbang, melihat bukti dan keterangan yang diberikan, pengadilan akhirnya  memutuskan…. mengabulkan permohonan cerai dan hak asuh anak dari pihak penggugat. Dan…”

Nari gagal, gagal menegakkan wajahnya seperti tadi. Gagal terus mendongak seolah angin sekencang apapun tidak akan berpengaruh.

Nari menunduk, ia terisak tanpa suara. Telinganya terasa di sumpal kuat hingga menolak untuk mendengar apalagi yang dikatakan hakim. Persetan! Apapun lanjutan kalimat dari hakim sialan itu, Nari tidak berniat tahu, cukup baginya mendengar bahwa ia bukan lagi istri dari Shim Changmin, dan Minho? Apakah ia masih bisa bertemu dengannya setelah keputusan ini?

Nari tidak beranjak, tidak perduli dengan suara-suara gaduh disekitarnya. Apakah ada yang punya rasa iba padanya? Atau suara-suara itu adalah mereka yang menertawakan nasibnya?

Nari tetap di tempatnya tanpa pergerakan sedikitpun. Sampai satu persatu yang ada diruangan menghilang dan menyisakan Nari dan seorang pria yang berdiri di depannya.

Pria tersebut ikut diam. Memperhatikan wanita yang bukan lagi miliknya.  Tangannya ingin sekali terjulur untuk mengelus kepala itu, memberinya kekuatan tapi…tangannya berhenti. Tidak menuju kepala mantan wanitanya tetapi berhenti di depan wajahnya.

“Terima jabat tanganku dan kita akan berjalan masing-masing setelah ini,” ujar pria itu dengan tenang. Ia gunakan kalimat yang sama saat meminta Nari untuk mempercayainya.

Nari mengangkat wajahnya yang basah itu untuk melihat si pemilik tangan. Dilihatnya pria itu tersenyum ramah seolah menawarkannya jalan baru menuju kebaikan. Tapi kebaikan macam apa sedangkan sekarang disisi kiri dan kanannya tidak ada lagi dua tangan hangat yang menggenggam.

Mereka bertatapan lama sampai akhirnya Nari bangkit, masih membiarkan uluran tangan itu tak terbalas. Sedangkan si pria, tetap setia menawarkan tangannya dan memamerkan senyum.

“Kau benar. Ini yang terbaik, ini hukumanku, ini nasibku. Dan aku…” Nari menghela nafas panjang, memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan, menahan sesak yang entah kapan akan berakhir. Begitu matanya terbuka, ia terima tangan itu, merasakan sentuhan yang bisa saja berubah menjadi sentuhan terakhir.

“Aku…ikhlas kau lepaskan.”

Mereka berjabatan dengan senyum yang makin mengembang dari pria itu. Pria yang entah mengapa jadi sulit untuk disebut namanya oleh Nari. Tapi batinnya terus meneriakan nama itu.

“Max….”

“Jangan sebut ini hukuman. Ini jalan baru yang lebih baik.”

Max berusaha tegar didepan Nari. Ini pilihannya, ini keputusannya dan ini jalan yang menurutnya di tunjukan Tuhan untuk mereka.

“Tersenyumlah,” pinta Max sambil berusaha kuat tidak mengangkat tangannya untuk mengelus kepala Nari.

“Aku sudah lupa caranya.”

“Kau akan segera ingat.”

Perlahan, Max melepas tautan yang sebenarnya sangat mereka nikmati. Mereka sama-sama ingin berteriak jangan. Max pun susah payah menahan keinginan untuk memeluk wanita itu erat. Nari pun berusaha tenang dengan tidak menggenggam tangan itu kuat-kuat. Bukankah ia berkata sudah ikhlas?

Sebelum pertahanan dan topengnya hancur, Max melangkah menuju sebuah akses berbentuk persegi panjang dimana orang-orang keluar masuk melalui itu. Max melangkah dengan tangis yang gagal ia tahan tapi berhasil ia sembunyikan dari wanitanya. Ah masih bisakah ia menyebut Nari sebagai miliknya?

Kakinya terus melangkah, meski pelan, terasa terbebani batu besar, ia tetap berjalan. Berkali-kali ia meraba dada, meredam denyutan yang menyayat, meyakinkan diri sendiri bahwa ia kuat, ia bisa.

Nari perhatikan tubuh Max dari belakang. Memperhatikan tubuh yang mungkin tak lagi bisa ia peluk. Berkali-kali ia menelan ludah dengan berat. Ya..itu cara lain untuk menyalurkan sakit, ia mungkin kehabisan stok air mata. Atau mungkin memang sudah mengering karena terlalu banyak yang ia gunakan sebagai luapan emosi atas apa yang terjadi. Nari bahkan hanya sekali berkedip, tidak ingin sedetikpun kehilangan momen ini.

Siapapun itu, Nari harap ada yang menepuk pipinya pelan atau pukul ia sekuat apapun tapi setelah itu katakan ia hanya bermimpi. Ini hanya mimpi buruk dimana ia masuk terlalu dalam. Bangunkan lalu kembalikan  ia ke dunia nyata dimana ia tengah duduk melihat suami dan anaknya bermain sepak bola di halaman belakang. Kembalikan ia ke masa-masa indah itu, masa saat ia masih punya harapan untuk memperbaiki kebodohannya.

Tapi hingga tubuh Max berbelok dan menghilang dibalik pintu, tidak ada satupun yang membangunkannya. Tidak ada yang mengatakannya kalau ini dunia khayal. Justru ia seperti mendengar ada yang berteriak jika ini sangat nyata. Ini kenyataan.

Saat tidak ada satupun yang tersisa disana. Saat tidak ada satupun tanda-tanda harapannya terkabul, barulah satu kata yang harusnya sejak tadi ia katakan keluar melalui bibirnya.

 “Saranghae….”

.

.

.

.

.

TBC

6 respons untuk ‘Destiny Part 11

  1. akhirnyaaaaaaa muncul juga part 11 nyaa, udah sering banget mondar-mandir, tapi belom dipost2 jugaaa u,u

    ini sumpaaah part paling nyesekkk, yaa ampun author aku speechless mau komen apa T_____T
    next part ending ‘kan yaa?! cepetan yaa dipost nya adminnim, sumpah penasaran sama endingnyaaa
    pokoknya harus cepet dipost, kalo perlu besok udah ada yaaa adminnim 🙂

Tinggalkan komentar